Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, tampaknya akan pingsan setelah di KO oleh POLRI. Tuduhan yang dilontarkan oleh POLRI (baca: SUSNO DUAJI) adalah penyalahgunaan wewenang dan juga menerima suap dari PT. MASARO RADIOKOM, padahal setelah dilakukan recheck ternyata tidak terbukti. Hal tersebut sebenarnya berasal dari TESTIMONI ANTASARI AZHAR (mantan Ketua KPK). yang menyatakan bahwa ada Pejabat KPK lainnya, selain dirinya (Antsari Azhar) yang telah menerima suap dari PT. MASARO RADIOKOM sekian milyar rupiah. Alih-alih korupsi aau menerima suap gidak terbukti, malah dua orang petinggi KPK yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah saat ini sudah resmi menjadi tersangka setelah sebelumnya dijadikan saksi atas TESTIMONI ANTASARI AZHAR (yang ternyata palsu).
Inti dari semua ini adalah adanya upaya pelemahan KPK sebagai institusi penegak hukum bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain KPK dibuat PINGSAN tak berdaya.
Selanjutnya yang lebih memrihatinkan adalah diterbitkannya PERPU atau Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang dan sekaligus untuk menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) sebagai pengganti dua orang petinggi KPK yang sekarang sudah ditetapkan jadi tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Sebagian LSM dan Aktivis Gerakan ANTI KORUPSI menilai bahwa penerbitan PERPU oleh SBY selaku Presiden Republik Indonesia sudah mengintervensi lembaga selevel KPK. Ada yang berpendapat, khususnya dari kalangan ICW, bahwa penerbitan PERPU memang wewenang Presiden dan sesuai dengan prinsip Ketatanegaraan (ADMINISTRASI NEGARA), namun bukan berarti penunjukkan PELAKSANA TUGAS pengganti dua orang Pejabat/Petinggi KPK adalah bagian dari wewenang PRESIDEN. Alasannya adalah, karena Pejabat KPK bukan lah seperti Menteri yang berada dibawah komando (baca: diangkat dan diberhentikan oleh Presiden) SBY. KPK adalah LEMBAGA NEGARA dan PEJABAT KPK dipilih oleh DPR (melalui Fit and Propertest), sehingga penunjukkan PELAKSANA TUGAS tersebut sudah merupakan bukti intervensi SBY dan ada muatan Politis didalamnya. Kalaulah SBY nekad melakukan hal itu, maka praktisi hukum (yang kritis) dan msyarakat menjadi kecewa terhadap kinerja SBY. Begitupun terhadap JARGON SBY untuk melakukan pemberantasan Korupsi, bisa menjadi bumerang dan Preseden buruk dikemujdian hari, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang